RSS

Contact Me

안녕하세요 ! 친구들을 환영합니다

Enjoy My Blog > Leave a comment > Be the FOLLOWERS ! =)

(ˆˆ)


wibiya widget

Nasib Petani Indonesia

Indonesia merupakan negeri terkaya didunia dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Menurut ICID (2005) Indonesia berada di peringkat 9 dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Walaupun rasio antara kepemilikan areal sawah dengan jumlah penduduknya, Indonesia 10 kali lipat lebih kecil dibandingkan dengan India dan China.  Indonesia dengan jumlah penduduknya sekitar 220 juta (2000) hanya memiliki 7,56 juta ha. Sedangkan India dengan jumlah penduduk 1 Miliar (2000) memiliki 57 juta ha lahan persawahan dan China dengan jumlah penduduk 1,3 Miliar (2000) memiliki 55 juta ha lahan pertanian. Yang patut kita garis bawahi, semua lahan itu (Di China & India) adalah sawah irigasi alias bukan sawah tadah hujan dsb. Hal mana, bila kita lihat dari tabel diatas, produktivitasnya tertinggi dibandingkan dengan jenis sawah lain (5 kali lipat lebih). Akan tetapi bila dibandingkan dengan selain kedua Negara itu, dibandingkan Singapura misalnya, hal mana hanya memiliki luas wilayah 699.3 kilometer persegi (69.930 ha). Maka, hanya dengan membandingkan luas lahan pertaniannya saja, Indonesia memiliki 100 kali lipat luas keseluruhan wilayah Negara tersebut. Artinya, untuk mencapai swasembada pangan, bukanlah suatu target yang susah. Bahkan bisa dikatakan, hal itu harus menjadi hal yang lumrah. Kelumrahan disini bisa disejajarkan dengan kelumrahan warga Indonesia yang tidak meludah didepan orang. Kelumrahan anak muda berjalan membungkuk bila berjalan dihadapan orang tua di Yogyakarta, Solo, khususnya dan Orang Jawa pada umumnya. Sehingga, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, tidaklah aneh jika harus ada yang disalahkan. Misalnya kelumrahan berjalan dihadapan orang tua di Jawa itu, bila hal itu tidak dilakukan, maka tidaklah aneh akan ada yang menyalahkan Sekolahnya (cth : tidak aneh jika akan ada yang mengatakan “sekolah macam apa, kok hanya bisa menghasilkan anak tidak tahu sopan santun seperti itu”), Orang Tuanya Cth:”Orang tuanya pasti tidak mengajarinya sopan santun” dan lain sebagainya. Begitu pula dengan swasembada pangan di Indonesia, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, adalah sangat wajar bila ada yang harus disalahkan, dan yang paling empuk adalah pemerintah. Walaupun mungkin pihak pemerintah dengan mudah akan menyalahkan kondisi Alam.

Banyak alasan bila sasaran yang paling empuk bagi tidak tercapainya swasembada pangan adalah pemerintah. Beberapa diantaranya adalah tugas dan wewenang yang lebih besar dalam mensinergikan semua potensi SDM dan SDA untuk mencapai hal ini (Swasembada pangan).

Namun, bila kita perhatikan kebijakan-kebijakan perekonomian Indonesia pasca reformasi 1998, masyarakat petani, hal mana merupakan masyarakat mayoritas di Indonesia, ditinggalkan. Sejak masa itu hingga sekarang, kita tidak asing mendengar Industrialisasi Indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi dengan meniru gaya industrialisasi Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea. Dengan alasan agar kita bisa sejajar dengan Negara-negara itu. Paradigma tersebut, bukan suatu kesalahhan yang mutlak bila kebijakan yang ada tidak melupakan sektor Industri yang Ideal untuk Indonesia (Pertanian).

Sejak reformasi hingga sekarang, Indonesia bisa dikatakan tidak melihat lagi potensi itu. Terbukti dengan dalam kurun 10 tahun lebih Indonesia tidak membangun satu pun bendungan untuk mendukung pertanian. Dan dalam kurun waktu itu pula Indonesia tidak berhasil mencapai swasembada pangan. Kelumrahan yang seharusnya terjadi tetapi dalam waktu 10 tahun lebih tidak tercapai. Makanya, tidaklah aneh jika hal itu tercapai, banyak yang berebut mengklaimnya sebagai suatu prestasi pihak tertentu. Layaknya anak yang tidak tahu sopan santun menjadi sangat sopan, maka adalah wajar jika ada yang mengklaim bahwa itu suatu prestasi. Tapi untuk kasus ini tidak akan berebut deh. Dan yang paling aneh, ketika penulis surfing di internet, terdapat data bahwa Indonesia mengimpor beras dari Negara yang luas wilayahnya 100 kali lipat lebih kecil dari luas lahan persawahan Indonesia, di [LINK=http://database.deptan.go.id/eksim/hasilimporNegaraT.asp]http://database.deptan.go.id/eksim/hasilimporNegaraT.asp[/LINK]

Yah seperti itulah nasib petani Indonesia, “sendirian” memikirkan bagaimana mendapatkan pupuk urea, “sendirian” memikirkan bagaimana menyuplai air untuk sawahnya, “sendirian” memikirkan cara meningkatkan harga gabah dan lain sebagainya. Akan tetapi, hasil dari kesendiriannya itu, akan diklaim oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesendiriannya.

Diakhir tulisan ini, penulis mengajak kepada semua pihak yang masih punya cita-cita agar Indonesia menjadi Negara Super Power untuk melakukan suatu langkah. Pertama dan yang paling realistis adalah kita bergerak dalam sektor pertanian dengan fokus yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Tidak lain, kebijakan yang ada harus lebih memperhatikan nasib Petani Indonesia hal mana merupakan subjek utama untuk cita-cita ini. Rekomendasi “konkret” kebijakan itu :

[B]1. Konversikan semua sawah di Indonesia menjadi sawah irigasi, [/B]

dengan cara :

[*]Membangun bendungan sebanyak-banyaknya, bahkan bila perlu tidak membiarkan setetes air sungai pun mengalir ke laut selain untuk persawahan. Dan ini juga bisa menanggulangi banjir dan kekeringan.[/*]
[*]Membuat sumur-sumur artesis[/*]



[B]2. Akses luas terhadap permodalan untuk petani[/B]

[B]3. Akses luas terhadap informasi tentang pertanian[/B]

[*]Mengadakan penyuluhan-penyuluhan[/*]
[*]Mendirikan Pendidikan dengan output siswa/mahasiswa yang siap terjun dalam bidang pertanian. Misalkan : SMK Pertanian (bukan hanya SMK otomotif dll)[/*]



[B]4. Membangun Industri dengan bahan baku dari produk pertanian, bukan hanya memproduksi pesawat terbang, mobil, kereta api dll.[/B]



Itu dulu saja dijalankan, Insya Allah, kelak kita bisa disejajarkan dengan bangsa-bangsa maju didunia. Berlebihan??, menurut penulis tidak juga. Ingat, sepandai-pandainya manusia, harus makan. Makanan itu bisa kita hasilkan melalui pertanian. Dengan seperti itu, bisa dikatakan kita sebagai Negara penghidup bagi Negara lain. Untuk bisa menyembuhkan (Dokter), Untuk bisa Mendidik (Dosen, Guru), Untuk bisa bekerja (karyawan pesawat terbang, pesawat jet dll), Untuk menciptakan inovasi (peneliti), bahkan untuk bisa menciptakan kendaraan yang bisa sampai di planet Yupiter pun butuh yang namanya makan. Nah, andaikan kita bisa menguasai itu, tidaklah susah bagi Negara yang bergantung terhadap hasil kita (yang hanya makanan dari hasil pertanian kita) baik Negara yang bisa menembus angasa maupun Negara yang miskin jelata, mengangkat topi bagi Negara kita. Serta tidak susah pula kita berpengaruh bagi Negara yang lain. Alias kita menjadi Negara Super Power. Biarkan orang jepang memproduksi robot, toh bisa kita tukar dengan padi kita, biarkan Amerika, Iran, Korea Utara dll, menciptakan teknologi nuklirnya yang penting ketika Ia lapar Ia memanggil kita.



NB : Maksud kata biarkan disini bertujuan agar kita tidak meninggalkan yang paling utama (pertanian) alias bukan berarti tidak melakukannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 03 Desember 2011

Nasib Petani Indonesia

Diposting oleh masytha zarza di 03.07
Indonesia merupakan negeri terkaya didunia dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Menurut ICID (2005) Indonesia berada di peringkat 9 dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Walaupun rasio antara kepemilikan areal sawah dengan jumlah penduduknya, Indonesia 10 kali lipat lebih kecil dibandingkan dengan India dan China.  Indonesia dengan jumlah penduduknya sekitar 220 juta (2000) hanya memiliki 7,56 juta ha. Sedangkan India dengan jumlah penduduk 1 Miliar (2000) memiliki 57 juta ha lahan persawahan dan China dengan jumlah penduduk 1,3 Miliar (2000) memiliki 55 juta ha lahan pertanian. Yang patut kita garis bawahi, semua lahan itu (Di China & India) adalah sawah irigasi alias bukan sawah tadah hujan dsb. Hal mana, bila kita lihat dari tabel diatas, produktivitasnya tertinggi dibandingkan dengan jenis sawah lain (5 kali lipat lebih). Akan tetapi bila dibandingkan dengan selain kedua Negara itu, dibandingkan Singapura misalnya, hal mana hanya memiliki luas wilayah 699.3 kilometer persegi (69.930 ha). Maka, hanya dengan membandingkan luas lahan pertaniannya saja, Indonesia memiliki 100 kali lipat luas keseluruhan wilayah Negara tersebut. Artinya, untuk mencapai swasembada pangan, bukanlah suatu target yang susah. Bahkan bisa dikatakan, hal itu harus menjadi hal yang lumrah. Kelumrahan disini bisa disejajarkan dengan kelumrahan warga Indonesia yang tidak meludah didepan orang. Kelumrahan anak muda berjalan membungkuk bila berjalan dihadapan orang tua di Yogyakarta, Solo, khususnya dan Orang Jawa pada umumnya. Sehingga, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, tidaklah aneh jika harus ada yang disalahkan. Misalnya kelumrahan berjalan dihadapan orang tua di Jawa itu, bila hal itu tidak dilakukan, maka tidaklah aneh akan ada yang menyalahkan Sekolahnya (cth : tidak aneh jika akan ada yang mengatakan “sekolah macam apa, kok hanya bisa menghasilkan anak tidak tahu sopan santun seperti itu”), Orang Tuanya Cth:”Orang tuanya pasti tidak mengajarinya sopan santun” dan lain sebagainya. Begitu pula dengan swasembada pangan di Indonesia, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, adalah sangat wajar bila ada yang harus disalahkan, dan yang paling empuk adalah pemerintah. Walaupun mungkin pihak pemerintah dengan mudah akan menyalahkan kondisi Alam.

Banyak alasan bila sasaran yang paling empuk bagi tidak tercapainya swasembada pangan adalah pemerintah. Beberapa diantaranya adalah tugas dan wewenang yang lebih besar dalam mensinergikan semua potensi SDM dan SDA untuk mencapai hal ini (Swasembada pangan).

Namun, bila kita perhatikan kebijakan-kebijakan perekonomian Indonesia pasca reformasi 1998, masyarakat petani, hal mana merupakan masyarakat mayoritas di Indonesia, ditinggalkan. Sejak masa itu hingga sekarang, kita tidak asing mendengar Industrialisasi Indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi dengan meniru gaya industrialisasi Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea. Dengan alasan agar kita bisa sejajar dengan Negara-negara itu. Paradigma tersebut, bukan suatu kesalahhan yang mutlak bila kebijakan yang ada tidak melupakan sektor Industri yang Ideal untuk Indonesia (Pertanian).

Sejak reformasi hingga sekarang, Indonesia bisa dikatakan tidak melihat lagi potensi itu. Terbukti dengan dalam kurun 10 tahun lebih Indonesia tidak membangun satu pun bendungan untuk mendukung pertanian. Dan dalam kurun waktu itu pula Indonesia tidak berhasil mencapai swasembada pangan. Kelumrahan yang seharusnya terjadi tetapi dalam waktu 10 tahun lebih tidak tercapai. Makanya, tidaklah aneh jika hal itu tercapai, banyak yang berebut mengklaimnya sebagai suatu prestasi pihak tertentu. Layaknya anak yang tidak tahu sopan santun menjadi sangat sopan, maka adalah wajar jika ada yang mengklaim bahwa itu suatu prestasi. Tapi untuk kasus ini tidak akan berebut deh. Dan yang paling aneh, ketika penulis surfing di internet, terdapat data bahwa Indonesia mengimpor beras dari Negara yang luas wilayahnya 100 kali lipat lebih kecil dari luas lahan persawahan Indonesia, di [LINK=http://database.deptan.go.id/eksim/hasilimporNegaraT.asp]http://database.deptan.go.id/eksim/hasilimporNegaraT.asp[/LINK]

Yah seperti itulah nasib petani Indonesia, “sendirian” memikirkan bagaimana mendapatkan pupuk urea, “sendirian” memikirkan bagaimana menyuplai air untuk sawahnya, “sendirian” memikirkan cara meningkatkan harga gabah dan lain sebagainya. Akan tetapi, hasil dari kesendiriannya itu, akan diklaim oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesendiriannya.

Diakhir tulisan ini, penulis mengajak kepada semua pihak yang masih punya cita-cita agar Indonesia menjadi Negara Super Power untuk melakukan suatu langkah. Pertama dan yang paling realistis adalah kita bergerak dalam sektor pertanian dengan fokus yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Tidak lain, kebijakan yang ada harus lebih memperhatikan nasib Petani Indonesia hal mana merupakan subjek utama untuk cita-cita ini. Rekomendasi “konkret” kebijakan itu :

[B]1. Konversikan semua sawah di Indonesia menjadi sawah irigasi, [/B]

dengan cara :

[*]Membangun bendungan sebanyak-banyaknya, bahkan bila perlu tidak membiarkan setetes air sungai pun mengalir ke laut selain untuk persawahan. Dan ini juga bisa menanggulangi banjir dan kekeringan.[/*]
[*]Membuat sumur-sumur artesis[/*]



[B]2. Akses luas terhadap permodalan untuk petani[/B]

[B]3. Akses luas terhadap informasi tentang pertanian[/B]

[*]Mengadakan penyuluhan-penyuluhan[/*]
[*]Mendirikan Pendidikan dengan output siswa/mahasiswa yang siap terjun dalam bidang pertanian. Misalkan : SMK Pertanian (bukan hanya SMK otomotif dll)[/*]



[B]4. Membangun Industri dengan bahan baku dari produk pertanian, bukan hanya memproduksi pesawat terbang, mobil, kereta api dll.[/B]



Itu dulu saja dijalankan, Insya Allah, kelak kita bisa disejajarkan dengan bangsa-bangsa maju didunia. Berlebihan??, menurut penulis tidak juga. Ingat, sepandai-pandainya manusia, harus makan. Makanan itu bisa kita hasilkan melalui pertanian. Dengan seperti itu, bisa dikatakan kita sebagai Negara penghidup bagi Negara lain. Untuk bisa menyembuhkan (Dokter), Untuk bisa Mendidik (Dosen, Guru), Untuk bisa bekerja (karyawan pesawat terbang, pesawat jet dll), Untuk menciptakan inovasi (peneliti), bahkan untuk bisa menciptakan kendaraan yang bisa sampai di planet Yupiter pun butuh yang namanya makan. Nah, andaikan kita bisa menguasai itu, tidaklah susah bagi Negara yang bergantung terhadap hasil kita (yang hanya makanan dari hasil pertanian kita) baik Negara yang bisa menembus angasa maupun Negara yang miskin jelata, mengangkat topi bagi Negara kita. Serta tidak susah pula kita berpengaruh bagi Negara yang lain. Alias kita menjadi Negara Super Power. Biarkan orang jepang memproduksi robot, toh bisa kita tukar dengan padi kita, biarkan Amerika, Iran, Korea Utara dll, menciptakan teknologi nuklirnya yang penting ketika Ia lapar Ia memanggil kita.



NB : Maksud kata biarkan disini bertujuan agar kita tidak meninggalkan yang paling utama (pertanian) alias bukan berarti tidak melakukannya.

0 komentar on "Nasib Petani Indonesia"

Posting Komentar